During this time, the growth of Islamic banking still relies on a policy of Bank Indonesia (BI). In fact, merely controls the BI policy. Consequently, the development of Islamic banking have no impetus to increase.
"Paradigm BI is braked, the government's role is to be gas for the growth of Islamic banking does not exist," said Chairman Asosisasi Islamic Bank Indonesia (Asbisindo), A. Riawan Amin. (source)
The minimal role of government is to make the growth of sharia banking in Indonesia is slow. This can be seen from the network of Islamic banking is not widespread and few products. According Riawan, the government should be able to encourage the expansion of Islamic banking network to streamline office channeling.
Compared with conventional bank branches that reached 15 thousand, the network of Islamic banks is still minimal. With only about 1,600 branches, Islamic banks have not been able to accelerate the business. "The government does not push the conventional 15 thousand branch office channeling it to, actually even encourage spin offs that require a larger capital," he said.
Discourse merged into state-owned Islamic bank was judged not to increase the growth of Islamic banking. According to him, the growth of Islamic banking could be triggered by the conversion of state-owned banks into Islamic banks. "If Islamic banks from state-owned banks put together instead will create a problem, it will not do business quickly because she was busy taking care of the merger," he said.
He assessed the performance of Islamic banks has been hampered by various control policies of BI. Policy of separation (spin off) will hamper the business of Islamic banks to develop the business. "Islamic banks that business can not quickly ramp because they still take care of the spin off. If you still want to merge, when to take care of business focus, "he said
The government has admitted making laws for the development of Islamic banking and regulation. However, he considered the law is still highly normative. The law has not been an incentive for setting up new Islamic banks being assessed can drive growth.
Islamic banking in Indonesia is also still burdened with double taxation. Elimination of double taxation just done for the murabaha (sale and purchase). "Elimination of double tax murabaha is already out, but what about the greetings, ijaroh, istishna ', this can be confusing if all is not abolished," he said.
Because of this, Islamic banking in Indonesia is far behind compared to Malaysia. According to him, Malaysia has had the Malaysian Islamic Financial Committee, which has the right to eliminate double taxation. In fact, they are able to provide incentives for new Islamic bank in the form of elimination of the corporate tax for ten years. "We're not there yet (of incentives)," he said.
Pemerintah tak Optimal Dorong Perbankan Syariah
Kamis, 20 Oktober 2011 08:36 WIB
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA—Peran pemerintah
dinilai masih minim dalam mendorong pertumbuhan perbankan syariah.
Karena itu, pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia masih lambat.
Selama ini, pertumbuhan perbankan syariah masih bertumpu pada kebijakan Bank Indonesia (BI). Padahal, kebijakan BI hanya bersifat mengontrol. Akibatnya, perkembangan perbankan syariah tidak punya daya dorong untuk meningkat.
“Paradigma BI itu mengerem, peran pemerintah yang jadi gasnya untuk pertumbuhan perbankan syariah tidak ada, “ ungkap Ketua Umum Asosisasi Bank Syariah Indonesia (Asbisindo), A. Riawan Amin.
Minimnya peran pemerintah tersebut membuat pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia lambat. Hal ini terlihat dari jaringan perbankan syariah yang belum meluas dan produk sedikit. Menurut Riawan, pemerintah seharusnya mampu mendorong perluasan jaringan perbankan syariah dengan mengefektifkan office channeling.
Dibandingkan dengan kantor cabang bank konvensional yang mencapai 15 ribu, jaringan bank syariah masih minim. Dengan hanya sekitar 1.600 cabang, bank syariah belum bisa akselerasi bisnis. “Pemerintah tidak dorong 15 ribu cabang konvensional itu untuk office channeling , justru malah mendorong spin off yang membutuhkan modal lebih besar, “ ungkapnya.
Wacana merger bank syariah menjadi BUMN pun dinilai tidak akan meningkatkan pertumbuhan perbankan syariah. Menurutnya, pertumbuhan perbankan syariah bisa lebih dipicu dengan konversi bank BUMN menjadi bank syariah. “Jika bank syariah dari bank-bank BUMN itu disatukan malah akan ciptakan masalah, tidak akan cepat berbisnis karena sibuk mengurusi merger, “ ujarnya.
Dia menilai kinerja bank syariah telah terganjal berbagai kebijakan kontrol dari BI. Kebijakan pemisahan (spin off) akan menghambat bisnis bank syariah untuk mengembangkan usaha. “Bank syariah itu bisnisnya tidak bisa cepat jalan karena masih urusi spin off. Kalau masih mau dimerger, kapan fokus urusi bisnis, “ ujarnya
Pemerintah diakuinya telah membuat undang-undang perbankan syariah untuk pengembangan dan pengaturan. Namun, dia menilai undang-undang tersebut masih bersifat normative. Undang-undang belum sampai pengaturan insentif bagi bank syariah baru yang dinilai bisa mendorong pertumbuhan.
Perbankan syariah di Indonesia juga masih dibebani dengan pajak ganda. Penghapusan pajak ganda baru dilakukan untuk murabahah (jual beli). “Penghapusan double tax murabahah memang sudah keluar, tapi bagaimana dengan salam, ijaroh, istishna’, ini bisa rancu kalau semua tidak dihapuskan, “ ujarnya.
Lantaran hal itu, perbankan syariah di Indonesia jauh tertinggal dibandingkan Malaysia. Menurutnya, Malaysia telah memiliki Malaysian Islamic Financial Committee yang memiliki hak menghapuskan pajak ganda. Bahkan mereka mampu memberi insentif bagi bank syariah baru berupa penghapusan pajak korporasi selama sepuluh tahun. “Kita belum sampai kesana (pemberian insentif), “ ujarnya.
Selama ini, pertumbuhan perbankan syariah masih bertumpu pada kebijakan Bank Indonesia (BI). Padahal, kebijakan BI hanya bersifat mengontrol. Akibatnya, perkembangan perbankan syariah tidak punya daya dorong untuk meningkat.
“Paradigma BI itu mengerem, peran pemerintah yang jadi gasnya untuk pertumbuhan perbankan syariah tidak ada, “ ungkap Ketua Umum Asosisasi Bank Syariah Indonesia (Asbisindo), A. Riawan Amin.
Minimnya peran pemerintah tersebut membuat pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia lambat. Hal ini terlihat dari jaringan perbankan syariah yang belum meluas dan produk sedikit. Menurut Riawan, pemerintah seharusnya mampu mendorong perluasan jaringan perbankan syariah dengan mengefektifkan office channeling.
Dibandingkan dengan kantor cabang bank konvensional yang mencapai 15 ribu, jaringan bank syariah masih minim. Dengan hanya sekitar 1.600 cabang, bank syariah belum bisa akselerasi bisnis. “Pemerintah tidak dorong 15 ribu cabang konvensional itu untuk office channeling , justru malah mendorong spin off yang membutuhkan modal lebih besar, “ ungkapnya.
Wacana merger bank syariah menjadi BUMN pun dinilai tidak akan meningkatkan pertumbuhan perbankan syariah. Menurutnya, pertumbuhan perbankan syariah bisa lebih dipicu dengan konversi bank BUMN menjadi bank syariah. “Jika bank syariah dari bank-bank BUMN itu disatukan malah akan ciptakan masalah, tidak akan cepat berbisnis karena sibuk mengurusi merger, “ ujarnya.
Dia menilai kinerja bank syariah telah terganjal berbagai kebijakan kontrol dari BI. Kebijakan pemisahan (spin off) akan menghambat bisnis bank syariah untuk mengembangkan usaha. “Bank syariah itu bisnisnya tidak bisa cepat jalan karena masih urusi spin off. Kalau masih mau dimerger, kapan fokus urusi bisnis, “ ujarnya
Pemerintah diakuinya telah membuat undang-undang perbankan syariah untuk pengembangan dan pengaturan. Namun, dia menilai undang-undang tersebut masih bersifat normative. Undang-undang belum sampai pengaturan insentif bagi bank syariah baru yang dinilai bisa mendorong pertumbuhan.
Perbankan syariah di Indonesia juga masih dibebani dengan pajak ganda. Penghapusan pajak ganda baru dilakukan untuk murabahah (jual beli). “Penghapusan double tax murabahah memang sudah keluar, tapi bagaimana dengan salam, ijaroh, istishna’, ini bisa rancu kalau semua tidak dihapuskan, “ ujarnya.
Lantaran hal itu, perbankan syariah di Indonesia jauh tertinggal dibandingkan Malaysia. Menurutnya, Malaysia telah memiliki Malaysian Islamic Financial Committee yang memiliki hak menghapuskan pajak ganda. Bahkan mereka mampu memberi insentif bagi bank syariah baru berupa penghapusan pajak korporasi selama sepuluh tahun. “Kita belum sampai kesana (pemberian insentif), “ ujarnya.
No comments:
Post a Comment