"So that's associated with UUPZ charity activists will conduct tests related to the emergence of public law," he explained.The birth place UUPZ BAZNAS as multi-functional institutions, namely the Planning (Regulatory), Executive (Operator), and Control (Supervisor). This is very contrary to the spirit of the revised Law no. 38/99 is intended to make the division of authority (the distribution of power) to the various stakeholder institutions.The most fatal error of UUPZ, the release mentions GEMAZS, giving authority to an agency for dual role, both as a "watchdog" or "players", as enshrined in Article 7 paragraph (1) UUPZIS. To avoid conflicts of interest, in accordance with the proposals and inputs from various parties on several occasions the Public Hearings Meeting (RDPU) to the House of Representatives Commission VIII, that must be separated institutions that act as regulators, supervisors, and operators. Single authorization of this kind was incompatible with the spirit of democracy and accountability.Even Yusuf Wibisono, academics from the Centre for Economics and Business Sharia FE UI, emphasizing that the centralized management of zakat by the state through BAZNAS have a weak argument, for it is the management in many countries led to the management of a wide open space for public participation.This law can also be said to injure the long history of charitable funds management practices based on local communities, as feared by Amelia Fauzia (Academician UIN Jakarta). From the first, a growing practice in the management of public funds is ZISWAF in each region, community, or organization run autonomously and independently managed. This law even with vulgar marginalize the role of civil society in the management of zakat by placing limited help BAZNAS."This law is very bureaucratic, and without the consent of each party government impossible to conduct management activities zakat" said Nana Mintarti.Then the emergence UUPZ, potent inhibitors of growth-management and development charity organization, with strict requirements of the establishment of the institution of zakat, as listed as Islamic civic organizations, legal entities, get recommendations from BAZNAS, and so forth. In our opinion, the question of permitting the establishment of institutions should be opened as wide and as flexible as possible, without subjecting aspects of performance monitoring and supervision of the institution of zakat which has been confirmed. (Agus)
GEMAZ Tolak UUPZ
Jakarta (31/10) Setelah disahkan oleh pemerintah Undang Undang
Pengelolaan Zakat (UUPZ) yang Kamis (27/10) lalu, para aktifis pegiat
zakat kecewa atas terbitnya UU tersebut. Melalui Gerakan Masyarakat
Peduli Zakat (GEMAZ) mereka menolak dan mengkritisi UU tersebut yang tak
sesuai dengan semangat demokrasi.
Nana Mintarti salah satu aktifis GEMAZ, merasa prihatin terhadap
lahirnya UU tersebut dan diprediksikan akan mengkerdilkan peran lembaga
zakat yang selama ini menjadi kekuatan filantropi masyarakat.
“Maka terkait dengan UUPZ itulah para aktifis zakat akan melakukan uji publik terkait munculnya UU tersebut,” terangnya.
Lahirnya UUPZ menempatkan BAZNAS sebagai lembaga multi fungsi, yaitu
sebagai Perencana (Regulator), Pelaksana (Operator), dan Pengendali
(Supervisor). Hal ini sangat bertentangan dengan semangat revisi UU no.
38/99 yang diniatkan untuk melakukan pembagian kewenangan (distribution
of power) kepada berbagai stakeholder lembaga.
Kesalahan paling fatal dari UUPZ, dalam release GEMAZS menyebutkan,
memberikan kewenangan kepada satu lembaga untuk berperan ganda, baik
sebagai “pengawas” maupun “pemain”, seperti termaktub dalam pasal 7 ayat
(1) UUPZIS. Untuk menghindari benturan kepentingan, sesuai dengan
usulan dan masukan dari berbagai pihak dalam beberapa kesempatan Rapat
Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi VIII DPR-RI, bahwa harus
dipisahkan lembaga yang berperan sebagai regulator, supervisor, dan
operator. Otorisasi tunggal semacam ini sangat tidak sesuai dengan
semangat demokrasi dan akuntabilitas.
Bahkan Yusuf Wibisono, akademisi dari Pusat Ekonomi dan Bisnis
Syariah FE UI, menekankan bahwa sentralisasi pengelolaan zakat oleh
negara melalui BAZNAS memiliki argumentasi yang lemah, karena justru
pengelolaan di banyak negara mengarah kepada pengelolaan yang membuka
ruang luas bagi partisipasi publik.
UU ini juga dapat dikatakan menciderai sejarah panjang praktek
pengelolaan dana kedermawanan sosial yang berbasis masyarakat lokal,
seperti yang dikhawatirkan oleh Amelia Fauzia (Akademisi UIN Jakarta).
Sedari dulu, praktek yang berkembang dalam pengelolaan dana ZISWAF
adalah masyarakat di masing-masing daerah, komunitas, atau organisasi
menjalankan pengelolaannya secara mandiri dan independen. UU ini bahkan
dengan vulgar memarjinalkan peran serta masyarakat sipil dalam
pengelolaan zakat dengan menempatkannya sebatas membantu BAZNAS.
“UU ini sangat birokratis, dan tanpa adanya ijin dari pemerintah
mustahil setiap pihak untuk melakukan kegiatan pengelolaan zakat” tandas
Nana Mintarti.
Kemudian munculnya UUPZ, berpotensi menghambat tumbuh-kembangnya
organisasi pengelolaan zakat, dengan ketatnya persyaratan pembentukan
lembaga zakat, seperti terdaftar sebagai organisasi kemasyarakat Islam,
berbadan hukum, mendapatkan rekomendasi dari BAZNAS, dan lain
sebagainya. Hemat kami, persoalan perijinan pembentukan lembaga harus
dibuka selebar dan se-fleksibel mungkin, tanpa menafikkan aspek
monitoring dan pengawasan kinerja lembaga zakat yang telah dikukuhkan.
(Agus)
No comments:
Post a Comment